KATA
PENGANTAR
Puji
dan Syukur kami panjatkan ke Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenaiHUKUM
ADAT KELUARGA.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Banjarmasin, Oktober 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terbentuknya
suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia.
Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga
bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Keluarga
adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak
atau lebih. Keluarga yang terdiri dari individu-individu selanjutnya akan
berkembang menjadi kesatuan ketetanggaan yang akan membentuk suatu masyarakat
yang lebih kompleks lagi yaitu masyarakat adat lalu masyarakat adat tersebut
bersatu dan membentuk masyarakat desa dan terkumpul dalam suatu ikatan
masyarakat atau warga negara. Keluarga yang terbentuk akan mengikatkan
pertalian-pertalian darah yang disebut keturunan dimana keturunan di keluarga
yang satu dengan yang lain akan berbeda. Keluarga yang telah menjadi bagian
dalam masyarakat adat memiliki beberapa aturan-aturan yang wajib dilaksanakan
dan larangan-larangan yang wajib dijauhi. Ketidakpatuhan pada aturan-aturan
yang telah ada dalam masyarakat adat biasanya akan menimbulkan sanksi sosial.
Sanksi yang timbul tidak selamanya hanya berbentuk sanksi sosial namun juga
bisa berupa denda. Hal itu tergantung pada adat yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan. Hukum adat keluarga yang akan dibahas secara jelas dan rinci
disini membicarakan hal-hal yang tidak jauh dari kedudukan pribadi dalam
masyarakat atau kerabatnya, hubungan anak dengan orang tua dan kerabat, beserta
hal-hal lain mengenai keluarga.
B.
Rumusan
masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan keluarga dan hukum adat keluarga?
2. Bagaimana kedudukan pribadi sebagai anggota
keluarga?
3. Bagaimana hubungan anak dengan orang tua dan
kerabatnya?
C.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Keluarga
Istilah
keluarga mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas, yaitu:
Dalam arti sempit
keluarga adalah gezin (bahasa Belanda) atau nuclear family (bahasa Inggris)
yaitu merupakan kesatuan kemasyarakatan terkecil yang organisasinya didasarkan
pada perkawinan dengan anggota inti seorang laki-laki sebagai ayah dan seorang
perempuan sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak-anak.
Adapun keluarga dalam arti luas adalah kerabat
(familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya
terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta
keturunannya. Untuk menghindari kesalahpahaman istilah maka dalam hukum adat
digunakan istilah kekerabatan/kesanaksaudaraan karena tidak hanya mengatur
hubungan hukum secara timbal balik antara suami dengan istri dan hubungan hukum
secara timbal balik antara orang tua dengan anak, tetapi juga mengatur hubungan
hukum antara anak dengan kerabat/saudara ayah dan saudara ibu.
Jadi keluarga
merupakan suatu unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari Ayah yaitu
sebagai kepala keluarga, Ibu dan idealnya dengan anak-anak yang tinggal satu
atap atau serumah dalam keadaan yang
saling ketergantungan.
2.
Pengertian
Hukum Adat Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht
(belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam
arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas
keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga
diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan keadaan tak hadir).
Istilah lain
hukum adat keluarga menurut beberapa ahli :
Prof. Dr. Mr.
Barend Ter Haar, Bzn menyebutnya sebagai Hukum Kesanak-Saudaraan;
Djaren Saragih,
S.H menyebutnya sebagai Hukum Keluarga; dan
Prof. H. Hilman
Hadikusuma, S.H menyebutnya sebagai Hukum Adat Kekerabatan. Sederhananya, hukum
adat keluarga/kekerabatan dapat didefinisikan sebagai hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat
(keluarga), hubungan anak dan orang tua, kedudukan anak dan kerabat, dan
masalah perwalian anak.
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat,
kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya,kedudukan anak terhadap
kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan
mengatur tentag pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (seketurunannya),
pertalian perkawinan dan pertalian adat.
Keturunan mempunyai akibat-akibat hukum dalam masyarakat,
pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan
kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anak nya.juga kita melihat bahwa pada
umumnya ada akibat-akibat yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan
dengan ketunggalan leluhur, akibat-akibat hukum tidak semuanya sama di seluruh
daerah. Tetapi meskipun tidak sama, toh dalam kenyataannya terdapat satu
pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini deseluruh daerah,
yaitu bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang essensiil serta mutlak
bagi sesuatu clan, suku atau pun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah,
yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Selanjutnya akan lebih
diperjelas pada pembahasan dibawah ini.
3.
Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan, leluhur, artinya
ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang
atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah
keturunan dari seorang yang lain.
Keturunan mempunyai akibat-akibat hukum dalam
masyarakat, pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan
pada hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anak nya.juga kita
melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat yang berhubungan dengan keturunan,
bergandengan dengan ketunggalan leluhur, akibat-akibat hukum tidak semuanya
sama di seluruh daerah. Tetapi meskipun tidak sama, toh dalam kenyataannya
terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini
deseluruh daerah, yaitu bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang
essensiil serta mutlak bagi sesuatu clan, suku atau pun kerabat yang
menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi
penerusnya.
Keturunan dapat bersifat lurus, menyimpang atau
bercabang. Selain Keturunan dapat bersifat lurus, menyimpang atau bercabang,
keturunan juga ada tingkatan-tingkatan atau derajat drajatnya. Misalnya, anak
mrupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu keturunan tingkat 2 dari
kakeknya dan seterusnya.
Kemudian, kita juga mengenal keturunan dari
garis bapak (patrilineal) dan keturunan dari garis ibu (matrilineal). Suatu
masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya hanya mengakui keturunan
patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui
keturunan dari kedua-duanya disebut bilateral.
4.
Hubungan
Anak Dengan Orang Tuanya
Dalam pertalian sanak berdasarkan
pertalian darah, maka yang dibicarakan adalah anak kandung. Anak kandung
mempunyai kedudukan yang terpenting dalam somah masyarakat adat. Oleh karenanya
sejak anak itu masih dalam kandungan hingga dilahirkan, dalam masyarakat adat
terdapat banyak upacara-upacara adat yang bersifat religio-magis.
Menurut hukum adat anak kandung yang
sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walau
pun mungkin terjadi perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dahulu sebelum
perkawinan. Di lampung disebut dengan Kappang Tubas, Jawa Nikah tambelan. Bugis
Patongkok siri.
Kewajiban anak menurut UU No. 1 tahun 1974 terhadap orang
tua, bahwa anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang
baik (pasal 46 (1) dan apabila anak sudah dewasa, maka anak wajib memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila
mereka memerlukan bantuannya (pasal 46 (2). Hal ini selaras dengan kehidupan
keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental atau keluarga/rumah tangga
Indonesia yang modern.
1) Anak lahir diluar perkawinan
Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang
sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon misalnya, wanita yang melahirkan
anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi seperti kejadian
normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan.
Tapi dibeberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib
mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anak nya. Bahkan mereka semua
lazimnya dibuang dari persekutuan (artinya tidak diakui lagi sebagai warga
persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah
kerajaan-kerajaan dahulu mereka dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Untuk mencegah nasib si ibu beserta anaknya yang malang ini,
terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan yang telah
membuatnya hamil untuk mengawininya. Disamping kawin paksa, adat juga mengenal
usaha lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita itu dengan pria lain.
Maksudnya supaya anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak
itu nmenjadi anak yang sah. Cara demikian ini banyak dijumpai di desa-desa di
jawa disebut dengan nikah tambelan dan di tanah suku bugis disebut
pattongkong sirig.
Tetapi meskipun telah dilakukan upaya-upaya adat seperti
tersebut diatas, semuanya itu toh tidak dapat menghilangkanperasaan dan
pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak demikian ini
di jawa di sebut dengan ”anak haram jadah” di bali “astra”
Di Minahasa anak yang lahir diluar perkawinan, karena “baku
piara” (Sangir : Nepa piara , Jawa : kumpul kebo) dapat diakui oleh ayah
biologisnya dengan memberi “lilikur” (tanda pengakuan), dimana kedudukan anak
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan atau keluraga ibunya
2) Anak lahir karena hubungan zina
Apabila seoarang isteri melahirkan anak karena hubungan
gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut adat suami itu
menjadi bapak dari anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami
ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak
anak yang dilahirkan oleh isterinya karena zina ini.
Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam
hukum islam yang menetapkan waktu lebih dari enam bulan setelah menikah sebagai
syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah.
3) Anak lahir setelah perceraian
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat
mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya
itu terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung.
Hubungan anak dengan orang tuanya (anak bapak atau
anak ibu) ini menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut :
a)
Larangan
kawin antara anak-bapak atau anak-ibu.
5.
Hubungan Anak Dengan Keluarga
Membahas hubungan anak dengan keluarga sangat
tergantung dari keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia ini
terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis
keturunan, yaitu garis keturunan ibu (matrilineal), garis keturunan bapak
(patrilineal), dan garis keturunan bapak-ibu (bilateral).
Dalam persekutuan yang menganut garis
bapak-ibu, hubungan anak dengan keluarga dari pihak keluarga bapak maupun ibu
adalah sama eratnya, derajatnya maupun pentingnya. Dalam hubungan bilateral ini
maka masalah tentang perkawinan, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain
hubungan hukum terhadap kedua belah pihak adalah sama.[7]
Sebaliknya dalam persekutuan
matrilineal (hubungan antara anak dengan keluarga ibu lebih erat dan lebih
penting dibandingkan hubungan anak dengan keluarga bapak) dan patrilineal
(kebalikan dari matrilineal, yakni hubungan anak dengan keluarga bapak lebih
erat dan lebih penting dibandingkan dengan hubungan anak dengan keluarga ibu)
hubungan antara anak dan keluarga dari kedua belah pihak tidak sama eratnya,
derajatnya, dan pentingnya.[8]
Akan tetapi yang perlu ditegaskan dalam
persekutuan-persekutuan yang sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini,
adalah bahwa dengan dilebih-lebihkan tingkatan hubungan terhadap salah satu
pihak, baik pihak bapak maupun ibu, bukanlah berarti bahwa dalam
persekutuan-persekutuan yang dimaksud menafikan hubungan keluarga dengan salah
satu pihak, melainkan hanya sifat dan susunan kemasyarakatan unilateral
tersebut yang menyebabkan hubungan dengan salah satu pihak menjadi lebih erat
dan lebih penting. Dan yang terpenting adalah kewajiban orang tua dalam
mendidik anak tidak terabaikan sesuai amanat UU Perlindungan Anak No.23 tahun
2002 bagian 4 pasal 26 bahwa orang tua berkewajiban untuk:
1. mengasuh, memelihara, mendidik,
dan melindungi anak;
2. menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
3. mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak.
6.
Memelihara Anak Piatu
Apabila di dalam suatu keluarga orang
tuannya tinggal seorang, sedang disitu masih ada anak-anak yang belum dewasa,
maka yang selanjutnya melakukan kekuasaan orang tua di dalam suatu wilayah yang
bertata keluargaan parental ialah orang tua yang masih tinggal itu, kecuali
jika anak-anak tersebut diserahkan kepada kerabat jenazah. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bagian 4 pasal
26; Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya,
maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Jika kedua-orang tua sudah tidak ada
lagi maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari
keluarga pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang
keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dan hal penting yang
perlu diperhatikan ialah di dalam lingkungan/suasana anak-anak tersebut dididik
dan diasuh semasa orang tuanya masih hidup. Sedangkan anak-anak yang sudah agak
besar menetapkan diri menurut kehendak pribadi.
Dan bagaimana penyelesaian yang kongkrit
dalam menghadapi kedua factor: kerabat terdekat dan yang berkesempatan terbaik
(terlepas dari pilihan anakn sendiri), adalah urusan kerabat? Dalam Landrad
Jawa dan Madura dapat mengangkat seorang wali jika:
1. Timbul kesulitan
mengenai hal itu
2. Tidak ada
seorangpun yang bersedia
3. Ada yang bersedia
namun tidak cakap
Dan bagaimana halnya bila dalam keluarga
yang menganut susunan unilateral, salah satu orang tuanya sudah meninggal
sedangkan masih ada anak-anak yang belum dewasa? Di Minangkabau (matrilineal),
jika bapaknya meninggal maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anak
yang belum dewasa tersebut dan jika ibunya yang meninggal maka kerabat dari
pihak ibu yang memeliharanya, sedangkan hubungan bapak dengan anak dapat terus
dipelihara oleh bapak.
Di Tapanuli (patrilineal), jika bapaknya
meninggal, ibunya meneruskan memelihara anak-anaknya dalam lingkungan keluarga
bapaknya. Dan jika ingin meninggalkan lingkungan keluarga bapaknya atau ingin
menikah lagi, maka anak-anak tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum
suami.
Dan apabila kedua orang tua anak meninggal, maka kekuasaan
orang tua terhadap anak-anak yang ditinggalkan selanjutnya diserahkan kepada
keluarga pihak bapak jika keluarga tersebut patrilineal dan keluarga pihak ibu
jika keluarga tersebut matrilineal.
7.
Mengangkat
Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan memungut
seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial
yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat
adanya pengangkatan-pengangkatan anak yang berikut:
a. Mengangkat anak
bukan warga keluarga
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan
dalam lingkungan keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat,
serentak dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada
keluarga anak semula, sehingga adopsi ini merupakan perbuatan tunai.Alasan
adopsi pada umumnya adalah “takut tidak ada keturunan”.
Kedudukan hukum anak angkat adalah sama dengan hukum anak
kandung, sedangkan hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua
aslinya di anggap putus menurut hukum adat pada umunya.
Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara
adat serta dengan bantuan kepala adat. Adopsi demikian ini terdapat di daerah
Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
b. Mengangkat anak dari
kalangan keluarga
Di Bali adopsi anak dari kalangan
keluarga ini disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari
salah suatu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa,
tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil anak dari lingkungan keluarga
istri(pradana).
Dalam keluarga dengan
selir-selir (gundik), maka apabila istri tidak mempunyai anak, biasanya
anak-anak dari selir-selir itu diangkat dijadikan anak-anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
1. Orang (laki-laki) yang
ingin mengangkat anak lebih dahulu wajib membicarakan kehendaknya dengan
keluarganya secara matang.
2. Anak yang akan
diangkat secara adat harus putus hubungan kekeluargaan dengan ibu dan
keluarganya, yaitu dengan jalan membakar benang (hubungan anak dengan keluarga
putus) dan membayar seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak
dengan ibu putus) secara adat.
3. Anak dimasukkan
kedalam hubungan kekeluargaan orang yang memungut; istilahnya diperas.
4. Pengumuman kepada
warga desa (siar); untuk siar ini pada zaman kerajaan dahuku dibutuhkan izin
raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat “surat peras”
(akta).
c. Mengangkat anak
dari kalangan keponakan-keponakan
Mengangkat keponakan menjadi anak
sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang
luas) dalam lungkungan keluarga. lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa
disertai dengan pembayaran-pembayaran uang atau penyerahan-penyerahan suatu
barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih
saudara sendiri dari orang yang memungut anak. Tetapi di daerah Jawa Timur hal
tersebut tidak berlaku, akan tetapi tetap diberikan pembayaran dengan alasan
sebagai tanda kelihatan atau simbol bahwa hubungan antara orang tua dan anak
tersebut sudah putus. Untuk besar bembayarannya adalah 17,5 sen (sebagai syarat
magis). Sedangkan di daerah Minahasa ada kebiasaan kepada anak yang diangkat
diberikan tanda kelihatan yang disebut “parade” sebagai pengakuan bahwa telah
memungut anak kaeponakan sebagai anak.
Sebab-sebab mengangkat anak keponakan sebagai anak sebagai
berikut:
1. Dikarenaka tidak
mempunyai keturunan (anak) sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut untuk
mendapatkan keturunan.
2. Karena belum
dikaruniai anak, sehingga dengan memungut keponakan diharapkan akan mempercepat
kemungkinan mendapat anak.
3. Terdorong oleh rasa
kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang
terurus dan sebagainya.
Selain pengangkatan-pengangkatan anak seperti yang sudah
tertera diatas, juga dikenal pengangkatan-pengangkatan anak yang maksud serta
tujuannya bukan semata-mata untuk memperoleh keturunan, melainkan lebih
dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut itu
lebih baik dan menguntungkan yang dimiliki semula.
Contoh dari pengangkatan-pengangkatan tersebut antara lain:
a. Mengangkat anak
laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki istrinya. Perbuatan hukum
ini sangat menguntungkan anak yang bersangkutan sebab anak tersebut akan
memperoleh hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya (Lampung dan Bali)
b. Mengangkat anak tiri
(anak istrinya) menjadi anak sendiri karena tidak mempunyai anak sendiri.
Di Daerah Rajang perbuatan tersebut disebut “Mujang Jurai”
yang mana hal tersebut dilarang ketika bapak dari anak tersebut masih hidup, sedangkan
pada suku Mayang-Siung-Dayak disebut “Ngukup Anak”.
Di daerah Minangkabau terdapat pula pengangkatan anak
sebagai yang disebutkan diatas, yaitu mengangkat anak dari seorang istri bukan
dari bangsa Minang, hingga anak tersebut masuk dalam sukunya sendiri (Willinck
dalam bukunya “Rechtsleven der Minangkabausche Maleirs” hlm. 358).
Di samping ini di daerah Minangkabau terdapat pula
mengangkat anak dengan tujuan untuk mencegah punahnya suatu kerabat (Familie),
yaitu dengan jalan mengadopsi anak perempuan. (Kohler dalam bukunya “Ueber der
Rechtder Minangkabau auf Sumatra” hal. 258).
Akhirnya perlu juga dikemukakan, bahwa terdapat pula
pengangkatan anak dengan tujuan untuk memungkinkan dilangsungkannya sesuatu
perkawinan tertentu, seperti di:
a. Kepulauan Kei (masyarakat
patriliniel) yang lazimnya mengangkat anak laki-laki, tetapi sebagai
perkecualian untuk dapat melangsungkan perkawinan antar keponakan
(Cross-cousin), khusus mengangkat seorang dara untuk kemudian dinikahkan dengan
keponakan laki-lakinya. Demikian juga di pulau Sumba.
b. Bali dan Malukua, memungut anak
laki-laki yang kemudian dinikahkan dengan anak perempuannya.
Perlu kiranya ditegaskan bahwa anak yang diangkat pada
umumnya anak yang belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa, sedangkan
yang mengangkat biasanya orang yang sudah kawin serta yang berumur lebih tua
dari anak yang diangkat, sehingga anak yang diangkat itu memang sepantasnya
menjadi anaknya.
8.
Anak
tiri
Anak tiri adalah anak bawan dari istri janda atau suami duda
yang telah mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (ganti
suami), dimana seorang istri kawin dengan saudara suami yang telah meninggal,
maka kedudukan anak tiri disini adalah tetap berkedudukan sebagai anak dari
ayah yang ibu yang terdahulu melahirkannya.
Begitupun juga apabila terjadi kawin duda beranak dengan
saudara isteri yang telah meninggal (perkawinan sororat), kedudukan anak tetap
sebagai anak dari ayah yang istrinya terdahulu
melahirkannya.
Di dalam masyarakat jawa yang parental-pun anak tiri adalah
ahli waris dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya, kecuali bila anak tiri
tersebut diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya, pun demikian
anak tiri tetap memiliki hak untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan
diantaranya yaitu Keluarga merupakan kesatuan kemasyarakatan
dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara
dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya. Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat,
kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya,kedudukan anak terhadap
kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat
kekerabatan mengatur tentag pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah
(seketurunannya), pertalian perkawinan dan pertalian adat.
Keturunan adalah
ketunggalan, leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang
dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi
yang tunggal leluhur adalah keturunan dari seorang yang lain.
Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian darah, maka yang
dibicarakan adalah anak kandung. Anak kandung mempunyai kedudukan yang
terpenting dalam somah masyarakat adat.
Membahas hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung
dari keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia ini terdapat
persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis
keturunan, yaitu garis keturunan ibu (matrilineal), garis keturunan bapak
(patrilineal), dan garis keturunan bapak-ibu (bilateral).
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan memungut
seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial
yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
Anak tiri adalah anak bawan dari istri janda atau suami duda
yang telah mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (ganti
suami), dimana seorang istri kawin dengan saudara suami yang telah meninggal,
maka kedudukan anak tiri disini adalah tetap berkedudukan sebagai anak dari
ayah yang ibu yang terdahulu melahirkannya.
B.
Saran
Saran
kami kepada masyarakat dimanapun berada seharusnya kedudukan setiap pribadi
dianggap sama karena pada dasarnya setiap manusia itu derajatnya sama.
Perbedaan masyarakat dalam tiap kasta harus dihapuskan karena suatu saat akan
menimbulkan kecemburuan sosial.
Saran kami untuk
pemerintah, seharusnya pemerintah lebih menegaskan kepada masyarakat agar
setiap kelahiran anaknya segera dicatatkan dalam catatan sipil dan dibuatkan
akte kelahiran agar status hukum sang anak di dalam negara menjadi jelas.
Daftar
Pustaka
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2003).
Sudiyat, Iman. Hukum Adat: Seketsa Asas. (Yogyakarta:
Liberty. 2012)
Surojo Wignjodipuro, SH, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar