Rabu, 12 Oktober 2016

Ni Kadek Dwi Hukum adat Keluarga


KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenaiœHUKUM ADAT KELUARGA. Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Banjarmasin, Oktober 2016


Penulis










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Terbentuknya  suatu keluarga itu karena adanya perkawinan.  Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak atau lebih. Keluarga yang terdiri dari individu-individu selanjutnya akan berkembang menjadi kesatuan ketetanggaan yang akan membentuk suatu masyarakat yang lebih kompleks lagi yaitu masyarakat adat lalu masyarakat adat tersebut bersatu dan membentuk masyarakat desa dan terkumpul dalam suatu ikatan masyarakat atau warga negara. Keluarga yang terbentuk akan mengikatkan pertalian-pertalian darah yang disebut keturunan dimana keturunan di keluarga yang satu dengan yang lain akan berbeda. Keluarga yang telah menjadi bagian dalam masyarakat adat memiliki beberapa aturan-aturan yang wajib dilaksanakan dan larangan-larangan yang wajib dijauhi. Ketidakpatuhan pada aturan-aturan yang telah ada dalam masyarakat adat biasanya akan menimbulkan sanksi sosial. Sanksi yang timbul tidak selamanya hanya berbentuk sanksi sosial namun juga bisa berupa denda. Hal itu tergantung pada adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat keluarga yang akan dibahas secara jelas dan rinci disini membicarakan hal-hal yang tidak jauh dari kedudukan pribadi dalam masyarakat atau kerabatnya, hubungan anak dengan orang tua dan kerabat, beserta hal-hal lain mengenai keluarga.

B.     Rumusan masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan keluarga dan hukum adat keluarga?
2.       Bagaimana kedudukan pribadi sebagai anggota keluarga?
3.       Bagaimana hubungan anak dengan orang tua dan kerabatnya?

C.    Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Keluarga
Istilah keluarga mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas, yaitu:
Dalam arti sempit keluarga adalah gezin (bahasa Belanda) atau nuclear family (bahasa Inggris) yaitu merupakan kesatuan kemasyarakatan terkecil yang organisasinya didasarkan pada perkawinan dengan anggota inti seorang laki-laki sebagai ayah dan seorang perempuan sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak-anak.
 Adapun keluarga dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya. Untuk menghindari kesalahpahaman istilah maka dalam hukum adat digunakan istilah kekerabatan/kesanaksaudaraan karena tidak hanya mengatur hubungan hukum secara timbal balik antara suami dengan istri dan hubungan hukum secara timbal balik antara orang tua dengan anak, tetapi juga mengatur hubungan hukum antara anak dengan kerabat/saudara ayah dan saudara ibu.
Jadi keluarga merupakan suatu unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari Ayah yaitu sebagai kepala keluarga, Ibu dan idealnya dengan anak-anak yang tinggal satu atap atau serumah  dalam keadaan yang saling ketergantungan.
2.      Pengertian Hukum Adat Keluarga

        Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata  familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat  Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan keadaan tak hadir).


Istilah lain hukum adat keluarga menurut beberapa ahli :
Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, Bzn menyebutnya sebagai Hukum Kesanak-Saudaraan;
Djaren Saragih, S.H menyebutnya sebagai Hukum Keluarga; dan
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutnya sebagai Hukum Adat Kekerabatan. Sederhananya, hukum adat keluarga/kekerabatan dapat didefinisikan sebagai hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), hubungan anak dan orang tua, kedudukan anak dan kerabat, dan masalah perwalian anak.
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya,kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentag pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (seketurunannya), pertalian perkawinan dan pertalian adat.
Keturunan mempunyai akibat-akibat hukum dalam masyarakat, pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anak nya.juga kita melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur, akibat-akibat hukum tidak semuanya sama di seluruh daerah. Tetapi meskipun tidak sama, toh dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini deseluruh daerah, yaitu bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang essensiil serta mutlak bagi sesuatu clan, suku atau pun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Selanjutnya akan lebih diperjelas pada pembahasan dibawah ini.
3.      Keturunan
    Keturunan adalah ketunggalan, leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan dari seorang yang lain.
   Keturunan mempunyai akibat-akibat hukum dalam masyarakat, pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anak nya.juga kita melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur, akibat-akibat hukum tidak semuanya sama di seluruh daerah. Tetapi meskipun tidak sama, toh dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini deseluruh daerah, yaitu bahwasannya keturunan adalah merupakan unsur yang essensiil serta mutlak bagi sesuatu clan, suku atau pun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya.
   Keturunan dapat bersifat lurus, menyimpang atau bercabang. Selain Keturunan dapat bersifat lurus, menyimpang atau bercabang, keturunan juga ada tingkatan-tingkatan atau derajat drajatnya. Misalnya, anak mrupakan keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu keturunan tingkat 2 dari kakeknya dan seterusnya.
   Kemudian, kita juga mengenal keturunan dari garis bapak (patrilineal) dan keturunan dari garis ibu (matrilineal). Suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya hanya mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua-duanya disebut bilateral.
  
4.       Hubungan Anak Dengan Orang Tuanya
       Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian darah, maka yang dibicarakan adalah anak kandung. Anak kandung mempunyai kedudukan yang terpenting dalam somah masyarakat adat. Oleh karenanya sejak anak itu masih dalam kandungan hingga dilahirkan, dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara-upacara adat yang bersifat religio-magis.
      Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walau pun mungkin terjadi perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dahulu sebelum perkawinan. Di lampung disebut dengan Kappang Tubas, Jawa Nikah tambelan. Bugis Patongkok siri.
Kewajiban anak menurut UU No. 1 tahun 1974 terhadap orang tua, bahwa anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik (pasal 46 (1) dan apabila anak sudah dewasa, maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas bila mereka memerlukan bantuannya (pasal 46 (2). Hal ini selaras dengan kehidupan keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental atau keluarga/rumah tangga Indonesia yang modern.
1)   Anak lahir diluar perkawinan
Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon misalnya, wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan.
Tapi dibeberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anak nya. Bahkan mereka semua lazimnya dibuang dari persekutuan (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan-kerajaan dahulu mereka dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Untuk mencegah nasib si ibu beserta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan yang telah membuatnya hamil untuk mengawininya. Disamping kawin paksa, adat juga mengenal usaha lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita itu dengan pria lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anak itu nmenjadi anak yang sah. Cara demikian ini banyak dijumpai di desa-desa di jawa disebut dengan nikah tambelan  dan di tanah suku bugis disebut pattongkong sirig.
Tetapi meskipun telah dilakukan upaya-upaya adat seperti tersebut diatas, semuanya itu toh tidak dapat menghilangkanperasaan dan pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak demikian ini di jawa di sebut dengan ”anak haram jadah” di bali “astra”
Di Minahasa anak yang lahir diluar perkawinan, karena “baku piara” (Sangir : Nepa piara , Jawa : kumpul kebo) dapat diakui oleh ayah biologisnya dengan memberi “lilikur” (tanda pengakuan), dimana kedudukan anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan atau keluraga ibunya
2)   Anak lahir karena hubungan zina
Apabila seoarang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut adat suami itu menjadi bapak dari anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh isterinya karena zina ini.
Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam hukum islam yang menetapkan waktu lebih dari enam bulan setelah menikah sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah.
3)   Anak lahir setelah perceraian
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya itu terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung.
Hubungan anak dengan orang tuanya  (anak bapak atau anak ibu) ini menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut :
a)        Larangan kawin antara anak-bapak atau anak-ibu.
5.      Hubungan Anak Dengan Keluarga
    Membahas hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung dari keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu (matrilineal), garis keturunan bapak (patrilineal), dan garis keturunan bapak-ibu (bilateral).
      Dalam persekutuan yang menganut garis bapak-ibu, hubungan anak dengan keluarga dari pihak keluarga bapak maupun ibu adalah sama eratnya, derajatnya maupun pentingnya. Dalam hubungan bilateral ini maka masalah tentang perkawinan, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua belah pihak adalah sama.[7]
      Sebaliknya dalam persekutuan matrilineal (hubungan antara anak dengan keluarga ibu lebih erat dan lebih penting dibandingkan hubungan anak dengan keluarga bapak) dan patrilineal (kebalikan dari matrilineal, yakni hubungan anak dengan keluarga bapak lebih erat dan lebih penting dibandingkan dengan hubungan anak dengan keluarga ibu) hubungan antara anak dan keluarga dari kedua belah pihak tidak sama eratnya, derajatnya, dan pentingnya.[8]
     Akan tetapi yang perlu ditegaskan dalam persekutuan-persekutuan yang sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini, adalah bahwa dengan dilebih-lebihkan tingkatan hubungan terhadap salah satu pihak, baik pihak bapak maupun ibu, bukanlah berarti bahwa dalam persekutuan-persekutuan yang dimaksud menafikan hubungan keluarga dengan salah satu pihak, melainkan hanya sifat dan susunan kemasyarakatan unilateral tersebut yang menyebabkan hubungan dengan salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting. Dan yang terpenting adalah kewajiban orang tua dalam mendidik anak tidak terabaikan sesuai amanat UU Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 bagian 4 pasal 26 bahwa orang tua berkewajiban untuk:
1.    mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2.    menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
3.    mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

6.       Memelihara Anak Piatu
      Apabila di dalam suatu keluarga orang tuannya tinggal seorang, sedang disitu masih ada anak-anak yang belum dewasa, maka yang selanjutnya melakukan kekuasaan orang tua di dalam suatu wilayah yang bertata keluargaan parental ialah orang tua yang masih tinggal itu, kecuali jika anak-anak tersebut diserahkan kepada kerabat jenazah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bagian 4 pasal 26; Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Jika  kedua-orang tua sudah tidak ada lagi maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dan hal penting yang perlu diperhatikan ialah di dalam lingkungan/suasana anak-anak tersebut dididik dan diasuh semasa orang tuanya masih hidup. Sedangkan anak-anak yang sudah agak besar menetapkan diri menurut kehendak pribadi.
     Dan bagaimana penyelesaian yang kongkrit dalam menghadapi kedua factor: kerabat terdekat dan yang berkesempatan terbaik (terlepas dari pilihan anakn sendiri), adalah urusan kerabat? Dalam Landrad Jawa dan  Madura dapat mengangkat seorang wali jika:
1.      Timbul kesulitan mengenai hal itu
2.      Tidak ada seorangpun  yang bersedia
3.      Ada yang bersedia namun tidak cakap
     Dan bagaimana halnya bila dalam keluarga yang menganut susunan unilateral, salah satu orang tuanya sudah meninggal sedangkan masih ada anak-anak yang belum dewasa? Di Minangkabau (matrilineal), jika bapaknya meninggal maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anak yang belum dewasa tersebut dan jika ibunya yang meninggal maka kerabat dari pihak ibu yang memeliharanya, sedangkan hubungan  bapak dengan anak dapat terus dipelihara oleh bapak.
     Di Tapanuli (patrilineal), jika bapaknya meninggal, ibunya meneruskan memelihara anak-anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Dan jika ingin meninggalkan lingkungan keluarga bapaknya atau ingin menikah lagi, maka anak-anak tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suami.
Dan apabila kedua orang tua anak meninggal, maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang ditinggalkan selanjutnya diserahkan kepada keluarga pihak bapak jika keluarga tersebut patrilineal dan keluarga pihak ibu jika keluarga tersebut matrilineal.
7.      Mengangkat Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan-pengangkatan anak yang berikut:
a.       Mengangkat anak bukan warga keluarga
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam lingkungan keluarga orang yang mengangkat ia  menjadi anak angkat, serentak dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula, sehingga adopsi ini merupakan perbuatan tunai.Alasan adopsi pada umumnya adalah “takut tidak ada keturunan”.
Kedudukan hukum anak angkat adalah sama dengan hukum anak kandung, sedangkan hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua aslinya di anggap putus menurut hukum adat pada umunya.
Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Adopsi demikian ini terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
b.      Mengangkat anak dari kalangan keluarga
       Di Bali adopsi anak dari kalangan keluarga ini disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah suatu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil anak dari lingkungan keluarga istri(pradana).
        Dalam keluarga dengan selir-selir (gundik), maka apabila istri tidak mempunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat dijadikan anak-anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
1.      Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak lebih dahulu wajib membicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang.
2.      Anak yang akan diangkat secara adat harus putus hubungan kekeluargaan dengan ibu dan keluarganya, yaitu dengan jalan membakar benang (hubungan anak dengan keluarga putus) dan membayar seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan ibu putus) secara adat.
3.      Anak dimasukkan kedalam hubungan kekeluargaan orang yang memungut; istilahnya diperas.
4.      Pengumuman kepada warga desa (siar); untuk siar ini pada zaman kerajaan dahuku dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat “surat peras” (akta).
c.       Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan
     Mengangkat keponakan menjadi anak sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang luas) dalam lungkungan keluarga. lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang atau penyerahan-penyerahan suatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang memungut anak. Tetapi di daerah Jawa Timur hal tersebut tidak berlaku, akan tetapi tetap diberikan pembayaran dengan alasan sebagai tanda kelihatan atau simbol bahwa hubungan antara orang tua dan anak tersebut sudah putus. Untuk besar bembayarannya adalah 17,5 sen (sebagai syarat magis). Sedangkan di daerah Minahasa ada kebiasaan kepada anak yang diangkat diberikan tanda kelihatan yang disebut “parade” sebagai pengakuan bahwa telah memungut anak kaeponakan sebagai anak.
Sebab-sebab mengangkat anak keponakan sebagai anak sebagai berikut:
1.      Dikarenaka tidak mempunyai keturunan (anak) sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut untuk mendapatkan keturunan.
2.      Karena belum dikaruniai anak, sehingga dengan memungut keponakan diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
3.      Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan sebagainya.
Selain pengangkatan-pengangkatan anak seperti yang sudah tertera diatas, juga dikenal pengangkatan-pengangkatan anak yang maksud serta tujuannya bukan semata-mata untuk memperoleh keturunan, melainkan lebih dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut itu lebih baik dan menguntungkan yang dimiliki semula.
Contoh dari pengangkatan-pengangkatan tersebut antara lain:
a.       Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki istrinya. Perbuatan hukum ini sangat menguntungkan anak yang bersangkutan sebab anak tersebut akan memperoleh hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya (Lampung dan Bali)
b.      Mengangkat anak tiri (anak istrinya) menjadi anak sendiri karena tidak mempunyai anak sendiri.
Di Daerah Rajang perbuatan tersebut disebut “Mujang Jurai” yang mana hal tersebut dilarang ketika bapak dari anak tersebut masih hidup, sedangkan pada suku Mayang-Siung-Dayak disebut “Ngukup Anak”.
Di daerah Minangkabau terdapat pula pengangkatan anak sebagai yang disebutkan diatas, yaitu mengangkat anak dari seorang istri bukan dari bangsa Minang, hingga anak tersebut masuk dalam sukunya sendiri (Willinck dalam bukunya “Rechtsleven der Minangkabausche Maleirs” hlm. 358).
Di samping ini di daerah Minangkabau terdapat pula mengangkat anak dengan tujuan untuk mencegah punahnya suatu kerabat (Familie), yaitu dengan jalan mengadopsi anak perempuan. (Kohler dalam bukunya “Ueber der Rechtder Minangkabau auf Sumatra” hal. 258).
Akhirnya perlu juga dikemukakan, bahwa terdapat pula pengangkatan anak dengan tujuan untuk memungkinkan dilangsungkannya sesuatu perkawinan tertentu, seperti di:
a.    Kepulauan Kei (masyarakat patriliniel) yang lazimnya mengangkat anak laki-laki, tetapi sebagai perkecualian untuk dapat melangsungkan perkawinan antar keponakan (Cross-cousin), khusus mengangkat seorang dara untuk kemudian dinikahkan dengan keponakan laki-lakinya. Demikian juga di pulau Sumba.
b.    Bali dan Malukua, memungut anak laki-laki yang kemudian dinikahkan dengan anak perempuannya.
Perlu kiranya ditegaskan bahwa anak yang diangkat pada umumnya anak yang belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa, sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah kawin serta yang berumur lebih tua dari anak yang diangkat, sehingga anak yang diangkat itu memang sepantasnya menjadi anaknya.

8.      Anak tiri
Anak tiri adalah anak bawan dari istri janda atau suami duda yang telah mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (ganti suami), dimana seorang istri kawin dengan saudara suami yang telah meninggal, maka kedudukan anak tiri disini adalah tetap berkedudukan sebagai anak dari ayah yang ibu yang terdahulu melahirkannya.
Begitupun juga apabila terjadi kawin duda beranak dengan saudara isteri yang telah meninggal (perkawinan sororat), kedudukan anak tetap sebagai anak dari ayah yang istrinya terdahulu melahirkannya.      
Di dalam masyarakat jawa yang parental-pun anak tiri adalah ahli waris dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya, kecuali bila anak tiri tersebut diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya, pun demikian anak tiri tetap memiliki hak untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan diantaranya yaitu Keluarga merupakan kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya. Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya,kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentag pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (seketurunannya), pertalian perkawinan dan pertalian adat.
 Keturunan adalah ketunggalan, leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan dari seorang yang lain.
Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian darah, maka yang dibicarakan adalah anak kandung. Anak kandung mempunyai kedudukan yang terpenting dalam somah masyarakat adat.
Membahas hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung dari keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu (matrilineal), garis keturunan bapak (patrilineal), dan garis keturunan bapak-ibu (bilateral).
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
Anak tiri adalah anak bawan dari istri janda atau suami duda yang telah mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (ganti suami), dimana seorang istri kawin dengan saudara suami yang telah meninggal, maka kedudukan anak tiri disini adalah tetap berkedudukan sebagai anak dari ayah yang ibu yang terdahulu melahirkannya.






B.     Saran
Saran kami kepada masyarakat dimanapun berada seharusnya kedudukan setiap pribadi dianggap sama karena pada dasarnya setiap manusia itu derajatnya sama. Perbedaan masyarakat dalam tiap kasta harus dihapuskan karena suatu saat akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Saran kami untuk pemerintah, seharusnya pemerintah lebih menegaskan kepada masyarakat agar setiap kelahiran anaknya segera dicatatkan dalam catatan sipil dan dibuatkan akte kelahiran agar status hukum sang anak di dalam negara menjadi jelas.


Daftar Pustaka
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2003).
Sudiyat, Iman. Hukum Adat: Seketsa Asas. (Yogyakarta: Liberty. 2012)
Surojo Wignjodipuro, SH, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar